Thursday, June 22, 2006

PENDIDIKAN INDONESIA, MAU KEMANA?

Nonton berita di TV dan baca media massa dua hari ini bener2 prihatin. Tingkat kelulusan peserta UAN memprihatinkan,Juara kelas yang sudah diterima via PMDK di PT bergensi ikut ngga lulus. Di Kalimantan, malah ada yang bunuh diri karena ngga kuat nanggung beban mental.

Gara-garanya sistem penilaian kelulusan diubah. Murni dari hasil UAN, rata-rata total nilai dari yang diujikan harus lebih dari 4.5 -kalau ngga salah. Jadi, meski dari kelas 1 sampai kelas 3 dapat rangking 1, tapi kalau pas malam ujian kebanyakan gaul atau harus nunggu keluarga sakit atau rumah lampu mati ... dan besoknya ujian gak konsen dan akibatnya 'fail' ya ... apa boleh buat, ngulang Jack!!!

Apa yang Salah ya?
Mungkin sebagian orang menjawabnya: semuanya SALAH!!! :-)

Saya berusaha memahami logika berpikir si pembuat keputusan yang maha penting ini. Mungkin pemicunya. kekuatiran terhadap standarisasi mutu pendidikan yang tidak merata, performance indikator sekolah dimana tingkat kelulusan dijadikan barometer sebuah sekolah dikatakan ok atau enggak -sehingga sekolah mengorbankan kualitas lulusannya demi mencapai itu. Di kampus juga ada. Oh, come On, masih ingat istilah "penggelontoran" ??? Itu ... angkatan-angkatan tua yang ngga lulus2 di'paksa' ambil skripsi dan maju ujian, terus standar kelulusan diturunkan. Asal bisa jawab dan ngga malu2in, lulus!!! Sounds familiar ya??? :-)

Jujur, dulu, pas saya SMA saya juga ngga terlalu peduli sama ujian akhir. Asumsi pasti luluslah ... fokus sama UMPTN aja.

Mungkin si pembuat keputusan berpikir dengan adanya standar soal nasional, maka kualitas pendidikan bisa paling tidak diseragamkan. Mirip2 sertifikasi gitu. Gak lulus ya ngulang. Tahun pertama pasti banyak korban, tapi setelah berjalan bertahun-tahun, setiap siswa akan mempersiapkan sebaik-baiknya menghadapi ujian. Sehingga tingkat kelulusan jadi lebih baik dan otomatis kualitas pendidikan pun terjaga. Everybody is happy! Itu benar,.. kalau bukan anak Anda atau saudara Anda yang jadi korban :-)

Gak tau ya, saya sih ngga pernah ngicipi sekolah di luar. jadi saya berkomentar seperti ini dengan "mode-kemeruh" aja :-) Tapi menurut saya ada beberapa hal yang perlu dilihat sebagai faktor kegagalan konsep ini -paling tidak tahun ini:

1. Kurikulum ngga ikut diubah.
Lha, kalau memang yang diujikan nasional (berarti standar nasional) hanya Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika harusnya sejak awal di pendidikan dasar ya hanya itu yang difokuskan. Ngga usah repot2 ngulang pelajaran PMP, Agama, Bahasa Daerah, dll. yang ngabisin banyak waktu ! Terlalu banyak yang harus dipelajari, mana bisa fokus sama kompetensi!

2. Kurang banyak guru berkualitas.
Waktu saya dengar sistem pendidikan berbasis kompetensi akan diterapkan, sejak awal saya pesimis. Apa siap tuh guru-gurunya? Mudah-mudahan saya salah, tapi sebagian (bukan semua lho) orang menjatuhkan pilihan menjadi guru setelah tidak ada (baca=tidak bisa) pilihan lain.

3. Gaji guru terlalu kecil, padahal biaya pendidikan mahal.
Terkait dengan nomor 2, sedikit orang pinter yang mau jadi guru ya karena profesinya ngga menjanjikan. Isinya full pengabdian. Mana bisa makan? Furthermore, sedikit guru pinter yang mau ngajar ke luar jawa. Akibatnya, gap pendidikan makin jauh.

4. Pengawasan sekolah kurang banget.
Mendapatkan pendidikan murah adalah hak warga negara, tanpa terkecuali. Sehingga memang kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan non subsidi (baca: swasta) harus dibuka lebar, tapi harus diawasi. Rahasia umum, sekolah2 swasta hanya jadi second job dari guru-guru negeri. Akibatnya, kualitasnya jadi macem2. Pengawasan kualitasnya kurang. Harusnya ada dewan pengawas sekolah yang setiap hari turun ke lapangan. Sidak aja ... kalau sekolah ngga siap, tutup aja!

Kesimpulannya:
Masih jauh, Pak Dibyo! Kalau boleh usul, diubahnya dari ujung, jangan cuma akhirnya aja. Ya gini ... kasian adik2 yang jadi korban. Mulai dari playgroup dulu :-)

1 comment:

SeeHarrie said...

Kalo menurut gue, UN itu tetep diperlukan, untuk standarisasi kelulusan dan untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Kalaupun ada yang enggak lulus (10%) yang silahkan belajar lagi..
Kalo nilai matematika/ Bahasa Indonesia/ Bahasa Inggris cuma di bawah 4.5 gimana bisa bersaing secara global.
Jadi kenapa malu untuk mengulang. Khan demi kepentingan pelajar di masa yang akan datang.